Wakil
Ketua MPR RI Bapak Dr. H. Jazilul Fawaid, SQ., MA. yang juga merupakan Dosen
Institut Ilmu Al-Quran Jakarta, hadir memberikan tausiyah kebangsaan pada acara
Pembekalan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Institut Ilmu Al-Quran Jakarta tahun
akademik 2020/2021, pada Jumat 25 Juni 2021.
Diketahui,
IIQ Jakarta mengadakan pembekalan KKL ini dengan tema “Al-Quran, Perempuan dan
Moderasi Beragama di Era Wabah” yang diisi oleh empat pemateri. Acara diawali
dengan beberapa rangkaian acara dan sambutan dari Ketua LPKM Ibu Dra. Hj.
Chalimatus Sa’dijah, MA.
Pada
kesempatan ini, Bapak Dr. Jazilul Fawaid menyampaikan tiga point penting atau
kata kunci terkait dengan materi wawasan kebangsaan.
Point Pertama, tentang Hubungan Al-Quran dan Negara. Dalam
pemaparannya, beliau mengatakan bahwa Al-Qur’an dan Negara kerapkali
dipertentangkan. Menurutnya, hal itu tidak boleh terjadi sebab Al-Quran dan
Negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena, kata Pak
Jazil, ketika Al-Quran dan Negara dianggap berhadap-hadapan, akan menjadi
sumber konflik yang berkepanjangan sebagaimana yang terjadi pada Negara-negara
Islam seperti Libia, Arab Saudi, Yaman dan Afghanistan yang terus mengalami
kontraksi hingga saat ini.
“Agama bukan penghalang pembangunan, Al-Quran bukan penghalang
pembangunan, tetapi Al-Quran dan agama menjadi faktor penguat untuk pembangunan
negara. Ini yang menjadi penting” Tegasnya.
Menurut pria yang akrab disapa Gus Jazil ini, negara Indonesia sendiri
rupanya menjadi rujukan dunia bahwa problem agama dengan negara sudah
tuntas. Hubungan antara Agama dan Negara di Indonesia sudah diatur dalam sila
pertama Pancasila dan UUD 1945, bahwa jika menjadi warga negara Indonesia
artinya menjadi warga negara yang beragama. Sebab, lanjutnya, para
founding father bangsa dan fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa ini
dilahirkan atas semangat Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Tidak boleh orang yang tidak berketuhanan hidup di Indonesia. Syarat
utama menjadi warga Negara Indonesia adalah berdasar pada Ketuhanan yang Maha
Esa. Kenapa ini terjadi? Karena Bangsa Indonesia dilahirkan atas semangat
agama.” Pungkasnya.
Oleh karena itu, Gus Jazil kemudian mengaku heran jika muncul pertanyaan,
pilih mana antara Al-Quran dan Pancasila? Itu sesungguhnya pertanyaan yang
menjebak dan tidak logis.
Point Kedua, tentang relasi Laki-laki dan Perempuan.
Menurut Gus Jazil, dominasi dan diskriminasi laki-laki terhadap perempuan tidak
boleh terjadi. Sebab, kemuliaan sebuah bangsa tercermin dari kemuliaan para
perempuan-perempuannya. Dan pada kultur budaya Indonesia, laki-laki dan
perempuan sudah mendapat posisi yang sama. Guz Jazil kemudian melihat
sejarah bagaimana agama Islam turun sesungguhnya untuk memuliakan derajat
kaum perempuan. Beliau menyebut, jika perempuan mulia maka otomatis Negara juga
menjadi mulia.
“Perempuan adalah tiang negara. Madrasatul Ula. Oleh karena itu, posisi
IIQ Jakarta yang mencetak ulama perempuan menurut saya menjadi sangat penting
dan menjadi cerminan apakah perempuan Indonesia perempuan yang baik atau tidak.
Jika perempuan-perempuan Indonesia tidak baik, tidak mulia, maka otomatis
dengan sendirinya Negara kita bukan negara yang mulia, sebab tidak mampu
menjaga kemuliaan, harkat dan martabat perempuan.” Sambung Dosen Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah ini IIQ Jakarta ini.
Point Ketiga, tentang Radikalisme dan Moderasi.
Beliau menegaskan bahwa sejak awal sudah disepakati bersama Negara
Indonesia adalah Negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasar pada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional. Kata pak
Jazil, jika Pancasila, NKRI, dan UUD dipertentangkan dengan Agama maka
dikhawatirkan membatalkan satu perjanjian kenegaraan dan merongrong semangat
kebersamaan warga negara. Seperti dalam sejarah, lanjutnya, pernah terjadi
fitnah besar hingga peperangan antar umat Islam pada masa Muawiyah
dan Sayyidina Ali sebab adanya kelompok yang merasa benar sendiri.
“Jika adek-adek atau kita semua menemui golongan atau kelompok yang cara
berfikirnya merasa benar sendiri dan menyalahkan yang lain, itu ciri-ciri
kelompok skriptualis yang nanti indikasinya dia intoleran. Dia tidak bisa
menerima kebenaran di luar dirinya. Dia merasa benar sendiri. Nah ini menjadi
akar-akar persoalan. Nah, sementara agama termasuk Islam itu disebut Al-Hanafiyatu
Samha, agama yang lurus dan toleran.” Tandasnya.
Di akhir pengantar, Wakil Ketua MPR RI ini berpesan kepada para mahasiswa
IIQ Jakarta agar selalu meyakini dan menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup
di dunia maupun di akhirat. Sebab, Al-Quran bukanlah buku tulis dan bukan buku
pelajaran, melainkan kitab suci yang memuat petunjuk hidup.
“Semoga anda menjadi sarjana Al-Quran yang memiliki integritas nasional
yang kuat. Menjadi perempuan yang mencerminkan kemuliaan perempuan Indonesia
dan juga menjadi pemikir yang mencerminkan pemikiran yang moderat, mengerti
konteks sesuai dengan budaya dalam bingkai amar makruf nahi munkar.” Tutur
Koordinator Nasional Nusantara Mengaji ini diakhir tausiyahnya. (FP)